Pada suatu hari, saya sedang duduk bersama teman-teman di sebuah kedai kopi, berbincang santai tentang berbagai hal. Tiba-tiba, pembicaraan kami mengarah ke topik AI. Salah satu teman kami berkata, “Kami ini orang kampung, petani. Mungkin AI belum bermanfaat bagi kami.”

Saya tidak langsung menjawab, tetapi saya ingin membuka wawasan mereka. Saat itu, saya mengambil ponsel dan membuka aplikasi ChatGPT. Saya lalu mengajukan pertanyaan, “Saya memiliki tanah dengan ukuran lima puluh kali seratus meter. Berapa jumlah pohon sawit yang bisa saya tanam agar tumbuh dan menghasilkan secara optimal?”

ChatGPT memberikan penjelasan yang sangat detail, mulai dari jumlah pohon yang ideal, jarak antar pohon, hingga faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil maksimal.

Saya kemudian menjelaskan kepada teman-teman bahwa AI tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah teknis dalam teknologi, tetapi juga bisa membantu menyelesaikan berbagai persoalan lainnya, termasuk di bidang pertanian. Hal-hal yang sebelumnya memerlukan waktu lama untuk dihitung atau harus mencari informasi dari berbagai sumber, kini dapat diselesaikan dengan cepat berkat AI.

Dalam diskusi lainnya, salah satu teman saya berpendapat bahwa AI dapat menyebabkan brainrot. Istilah brainrot sendiri merujuk pada kondisi di mana seseorang mengalami penurunan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, atau daya nalar karena kebiasaan tertentu, seperti konsumsi informasi yang tidak produktif atau pengandalan berlebihan pada teknologi tanpa memahami esensinya.

Namun, saya memiliki pandangan yang berbeda. Menurut saya, justru AI memungkinkan kita untuk memperluas kemampuan yang sebelumnya terasa mustahil. Dengan AI, pekerjaan yang bersifat rutin, rumit, dan memakan waktu dapat diselesaikan dengan cepat dan efisien. Ini membuka ruang bagi kita untuk fokus pada hal-hal yang lebih strategis, kreatif, dan inovatif.

Sebagai contoh, dalam pekerjaan sehari-hari, AI dapat membantu kita menganalisis data secara otomatis, memberikan rekomendasi berdasarkan pola, atau bahkan menghasilkan ide awal yang bisa kita kembangkan lebih lanjut. Alih-alih menggantikan otak manusia, AI berfungsi sebagai asisten cerdas yang meringankan beban kerja, sehingga energi mental kita dapat digunakan untuk hal yang lebih bernilai.

Namun demikian, penting untuk diingat bahwa AI hanyalah alat. Penggunaannya yang tidak bijak, seperti mengandalkan AI sepenuhnya tanpa memahami prosesnya, memang dapat membuat otak kita kurang terlatih. Inilah yang mungkin memicu anggapan bahwa AI menyebabkan brainrot.

Menurut saya, AI bukanlah penyebab utama brainrot. Masalah tersebut lebih sering muncul dari kebiasaan seperti doomscrolling di media sosial—kegiatan terus-menerus menggulirkan konten negatif atau tidak produktif tanpa henti. Aktivitas ini tidak hanya menghabiskan waktu tetapi juga merusak konsentrasi, menghambat kreativitas, dan membuat kita sulit membedakan informasi penting dari yang tidak relevan.

Jika digunakan dengan benar, AI justru menjadi alat yang dapat mendukung produktivitas dan membantu kita berkembang. Untuk menghindari dampak negatif, kita harus tetap memegang kendali, menggunakan AI secara cerdas, dan tidak membiarkan teknologi mengatur hidup kita sepenuhnya. Sebaliknya, mari gunakan teknologi ini sebagai triger untuk menciptakan hal-hal luar biasa yang sebelumnya hanya ada dalam imajinasi kita.